http://i340.photobucket.com/albums/o350/tomrat2212/emon.gif
Whuryou As Niel

Kamis, 24 Oktober 2013

Makalah Pers



A.    Pengertian Pers Menurut Para Ahli

      1.      Menurut Oemar Seno Adji
a.    Pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis.
b.    Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
       2.      Menurut Kustadi Suhandang
            Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.
      3.      Menurut Wilbur Schramm
            Dalam bukunya Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.
      4.      Menurut McLuhan
            Dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada moment yang bersamaan.
     5.      Menurut Raden Mas Djokomono
            Menurut Bapak Pers Nasional, pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda.
  1. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pers berarti:
a.    Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
b.    Alat untuk menjepit atau memadatkan
c.    Surat kabar dan majalah yang berisi berita
d.   Orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
  1. Menurut L. Taufik
            Dalam buku Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia menyatakan bahwa pengertian pers terbagi dua,yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas.
a.    Pers dalam arti sempit di artikan surat kabar,Koran,majalah,tabloid,dan buletin-buletin kantor berita.Jadi,pers terbatas pada media tercetak.
b.    Pers dalam arti luas mencakup semua media massa,termasuk radio,televisi,film,dan internet.
  1. Menurut Rakhmad
            `Mengemukakan bahwa Pers adalah Universitas besar dengan wartawan sebagai mahasiswanya. Pers bertugas mengamati realitas sosial dan menyampaikan pesan kepada masyarakat.
  1. Menurut T.C. Simorangkir , SH
            Dalam buku yang berjudul “Hukum dan Kebebasan Pers” mengemukakan bahwa Pers memiliki dua arti yaitu :
a.       Pers dalam arti sempit , hanya pada surat – surat kabar harian, mingguan, dan  majalah.
b.      Pers dalam arti luas, selain surat kabar, majalah, tabloid mingguan, juga mencangkup radio, TV dan Film.

B.    Sejarah Pers Indonesia

   1.     Pers Pada Zaman Hindia Belanda (1744 sampai awal abad ke 19 )
Berbicaea perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni ApiHalilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.

2.       Pers Masa Pergerakan

Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda.Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908,surat kabar yang di keluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan.Pers menyuarakan kepedihan,penderitaan,dan merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah.Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.

3.       Pers dimasa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)

Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. namun surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara. Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung.
Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain

4.       Pers Masa Revolusi Fisik

Pada masa revolusi fisik ini,pers terbagi menjadi dua golongan,yaitu sebagai berikut :
1.    Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya di namakan pers Nica ( Belanda ).
2.    Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh orang Indonesia yang di sebut pers republik.
Kedua per situ sangat berlawanan.Pers republik di suarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu.Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.Sebaliknya,pers Nica berusaha memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.

5.       Pers di era Demokrasi Liberal ( 1949 – 1959 )

Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang – Undang Dasar Sementara (1950). Dalam konstitusi RIS yang isinya banyak diambil dari piagam pernyataan Hak Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Right) pada pasal 19 disebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasab mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian dicantumpak kembali dalam Undang – Undang Dasar Sementara (1950)”.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan para wartawan terhadap pers belanda dan cina. Pemerintahan mulai mencari cara membatasi penerbitan itu karena tidak kan membiarkan ideologi “ Asing “ merogrong UUD. Pada akhirnya pemerintahan melakukan pembredelan pers dengan tindakan – tindakannya yang tidak terbatas dengan pers asing saja.
Pertanda akan terjadinya pembatasan terhadap kebebasan pers, terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerannga, Ruslan Adbulgani yang antara lain ”...kgusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dikenakan atas kegiatan – kegiatan kewartawanan orang – orang asing...”. Pernyatann diatas ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang – Undang  yang mengharuskan para penerbit Belanda membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia.

6.       Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

7.       Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkanakan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah.Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yangtentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yangmenentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto. Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (AliansiJurnalis Independen, 1995 : 140) Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah dituliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu. Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayatTempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah strategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu pada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998 setelah jatuhnya Orde Baru. Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional .Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
b.    Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
c.    Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
d. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasusyang berhubungan dengan pemberitaan pers.
e.    Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
f.     Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkankualitas profesi wartawan.
g.    Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunawan Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja. Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan“power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C.Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruhlapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan persmemang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu olehkekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya

8.       Pers di masa Era Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP). Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a.    Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b.    Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.    Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.   Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Media massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet. Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.
Pers pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar