A. Pengertian Pers Menurut Para Ahli
a. Pers dalam arti sempit, yaitu
penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis.
b. Pers dalam arti luas, yaitu
memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran
dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Pers adalah seni atau ketrampilan
mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang
peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala
kebutuhan hati nurani khalayaknya.
Dalam bukunya “Four Theories of the Press” yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori
terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility
dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu
pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan
pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.
Dalam bukunya Understanding Media
terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended man, yaitu yang
menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan
peristiwa lain pada moment yang bersamaan.
Menurut Bapak Pers Nasional, pers
adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar.
Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan
hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda.
- Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pers
berarti:
a. Alat cetak untuk mencetak buku atau
surat kabar
b. Alat untuk menjepit atau memadatkan
c. Surat kabar dan majalah yang berisi
berita
d. Orang yang bekerja di bidang persurat
kabaran.
- Menurut L. Taufik
Dalam buku Sejarah dan
Perkembangan Pers di Indonesia menyatakan bahwa pengertian pers terbagi
dua,yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas.
a. Pers dalam arti sempit di artikan
surat kabar,Koran,majalah,tabloid,dan buletin-buletin kantor berita.Jadi,pers
terbatas pada media tercetak.
b. Pers dalam arti luas mencakup semua
media massa,termasuk radio,televisi,film,dan internet.
- Menurut Rakhmad
`Mengemukakan bahwa Pers adalah
Universitas besar dengan wartawan sebagai mahasiswanya. Pers bertugas mengamati
realitas sosial dan menyampaikan pesan kepada masyarakat.
- Menurut T.C. Simorangkir , SH
Dalam buku yang berjudul “Hukum dan
Kebebasan Pers” mengemukakan bahwa Pers memiliki dua arti yaitu :
a. Pers dalam arti
sempit , hanya pada surat – surat kabar harian, mingguan, dan majalah.
b. Pers dalam arti
luas, selain surat kabar, majalah, tabloid mingguan, juga mencangkup radio, TV
dan Film.
B.
Sejarah Pers Indonesia
1.
Pers Pada Zaman Hindia Belanda (1744 sampai awal abad ke 19
)
Berbicaea
perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya
bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa orang Eropa
lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia
pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka,
tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.
Tentang
awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan
dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas
bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa).
Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda,
Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede
tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada
bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780,
sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat
kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Dengan kata
lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu
diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch
Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya
“Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum
pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan
bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda
menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin
redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini
menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prujaji telah disambut
hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan
mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat
Islam” telah menerbitkan harianOetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan
kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran
dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat
harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada
tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin
harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di
tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang
kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
2.
Pers Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan
Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda.Setelah munculnya
pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908,surat kabar yang di keluarkan
orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan.Pers menyuarakan
kepedihan,penderitaan,dan merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah.Pers
menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan
kedudukan bangsa.
3.
Pers dimasa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga
1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak
dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi
keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang
pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda
dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal
teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. namun surat
kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa
bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan
karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Selain
itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei
dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan
Antara. Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia
Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di
Bandung.
Dengan
munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat
kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan
dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang
wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta,
tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain
4.
Pers Masa Revolusi Fisik
Pada
masa revolusi fisik ini,pers terbagi menjadi dua golongan,yaitu sebagai berikut :
1.
Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh tentara
pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya di namakan pers Nica ( Belanda
).
2.
Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh orang Indonesia
yang di sebut pers republik.
Kedua
per situ sangat berlawanan.Pers republik di suarakan oleh kaum republik yang
berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan
Sekutu.Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.Sebaliknya,pers
Nica berusaha memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk
berkuasa di Indonesia.
5.
Pers di era
Demokrasi Liberal ( 1949 – 1959 )
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) dan Undang – Undang Dasar Sementara (1950).
Dalam konstitusi RIS yang isinya banyak diambil dari piagam pernyataan Hak
Asasi Manusia sedunia (Universal Declaration of Human Right) pada pasal 19
disebutkan “Setiap orang berhak atas
kebebasab mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Isi pasal ini kemudian
dicantumpak kembali dalam Undang – Undang Dasar Sementara (1950)”.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan
para wartawan terhadap pers belanda dan cina. Pemerintahan mulai mencari cara
membatasi penerbitan itu karena tidak kan membiarkan ideologi “ Asing “
merogrong UUD. Pada akhirnya pemerintahan melakukan pembredelan pers dengan
tindakan – tindakannya yang tidak terbatas dengan pers asing saja.
Pertanda akan terjadinya pembatasan terhadap kebebasan pers, terbaca dalam
artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerannga, Ruslan Adbulgani yang antara lain ”...kgusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dikenakan atas
kegiatan – kegiatan kewartawanan orang – orang asing...”. Pernyatann diatas
ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang – Undang yang mengharuskan para penerbit Belanda
membayar tiga kali lipat untuk kertas koran ketimbang pers Indonesia.
6.
Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih
kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri
Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14,
antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Awal tahun 1960 penekanan kebebasan
pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas
akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita
yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers
nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi
perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers
makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook
bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers.
Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
7.
Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru,
Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat.
Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkanakan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada
saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek
ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.Indonesia mulai bangkit
sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin
pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers
yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru,
malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada
kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah.Bila ada
maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah
yangtentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa orde baru, segala
penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui
departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers
tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan
pembela masyarakat.“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers
pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
Namun pada kenyataannya tidak
ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni
1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat
izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka
mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh
pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku
menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar
diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yangmenentang
politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata
belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan
bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto. Pembredelan 1994
ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara
menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam
ekosistemnya. (AliansiJurnalis Independen, 1995 : 140) Sebelum dibredel pada 21
Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting
di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan
seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada
1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani
melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo
diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was
terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga
keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan-
kritikan Tempo terhadap pemerintah dituliskan dengan kata-kata yang pedas dan
bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik
adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “
enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti
Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang
menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan
berkali-kali peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi
pembredelan itu. Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana.
Pembredelan bukanlah akhir dari riwayatTempo. Untuk tetap survive, ia harus
menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan strategi yang digunakan
Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang
kedua adalah strategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk
menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka.
Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat
Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994,
wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo
Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun
1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers
yang terbelenggu pada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali
pada tanggal 6 Oktober 1998 setelah jatuhnya Orde Baru. Dewan pers adalah
lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun1999,
dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari
upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan
pers nasional .Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU,
diantaranya :
a. Melindungi kemerdekaan pers dari
campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
b.
Melakukan pengkajian untuk
pengembangan kehidupan pers.
c.
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan
kode etik jurnalistik.
d. Memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasusyang berhubungan
dengan pemberitaan pers.
e.
Mengembangkan komunikasi antara
pers, masyarakat adn pemerintah.
f.
Memfasilitasi organisasi pers dalam
menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkankualitas profesi wartawan.
g.
Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif.
Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama
rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal
itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers
yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunawan Muhammad yang
selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun
ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan
tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan
dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers
hanya formalitas saja. Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti
pada konteks “press freedom or law” dan“power of the press”. Sehingga
dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang
sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John
C.Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain
mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena
pengertian secara missal itu adalah seluruhlapisan masyarakat baik itu pemerintah
maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan persmemang gagal meningkatkan
kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu
olehkekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan
hak-haknya
8.
Pers di masa Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era
reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk
sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di
bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada
di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak
masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal
ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang
diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan
penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut
gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding
dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982
tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP). Dalam Undang-Undang ini, dengan
tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4).
Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit,
yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan
pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa
reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar
informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Media
massa adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi
perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak
pernah lepas dari media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet. Keefektifan serta peranannya yang
begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi
pembentukan kepribadian masyarakat.
Pers
pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi
dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi
liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang
lebih luas namun pers pada masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai
sarana untuk menyiarkan kebijakan pemerintah maupun partai oposisi. Pers
pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan banyak terjadi pembredelan
media cetak yang tidak sesuai dengan ‘selera’ presiden pada masa
reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode
etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan
pemberitaan karena tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar